Data dari Kementerian Kesehatan secara konsisten menunjukkan bahwa persentase kasus AIDS paling banyak terjadi melalui seks heteroseksual. Dari data tersebut nampak bahwa hubungan heteroseksual masih menjadi persentase tertinggi pada kasus AIDS yaitu sebesar 78% pada 2013, kemudian meningkat sebesar 81,3 % di tahun 2014. Angka tersebut jauh di atas kasus AIDS pada kelompok homoseksual sebesar 5,1%. Sedangkan pengguna narkoba suntik (penasun) yang biasanya dianggap sebagai cara penularan tertinggi kedua, pada tahun 2014 turun secara signifikan menjadi 3,3% dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 9,3%. Pada tahun 2015, hubungan heteroseksual meningkat menjadi 82,8%, jauh melampaui kasus AIDS pada kelompok homoseksual yaitu 7,4%.
Laporan data kumulatif HIV dan AIDS Kemenkes sepanjang tahun 1987 sampai dengan September 2015 menunjukkan bahwa Ibu Rumah Tangga menempati urutan terbesar orang dengan HIV dan AIDS (ODHA), menurut kelompok mata pencahariannya, sebanyak 9.096. Sementara urutan kedua yaitu karyawan 8.287, sementara yang tidak diketahui profesinya mencapai 21.434 orang. Ibu Rumah Tangga (IRT) beresiko mendapatkan HIV dari suaminya, diperkirakan Sekitar 4,9 juta dari mereka menikah dengan pria berisiko tinggi dan sebanyak 6,7 juta pria di Indonesia merupakan pembeli seks.
Melihat dari data dan fenomena yang terjadi, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menyatakan beberapa hal hasil dari refleksi penanggulangan HIV dan AIDS sebagai berikut :
- Presentase kasus berdasarkan faktor resiko di atas menunjukkan bahwa, pertama, siapa saja berisiko terinfeksi HIV. Kedua, mematahkan anggapan, bahwa HIV dan AIDS hanya rentan kepada para pekerja seks, kelompok homoseksual atau pengguna narkoba suntik saja. Jelas bahwa data di atas mengindikasikan adanya perubahan pola penyebaran HIV dan AIDS ini, dari kelompok berisiko tinggi ke masyarakat umum. Dari kelompok masyarakat umum ini, Ibu-ibu rumah tangga (IRT) dan anak memiliki proporsi cukup besar terinfeksi HIV dan AIDS.
- Pendekatan program HIV dan AIDS selama lebih dari 25 tahun belum mampu merespon perubahan pola epidemi HIV. Pola dari kelompok homoseksual ke Penasun, kemudian ke heteroseksual dan sekarang ke ibu dan anak tidak mampu diantisipasi . Agar di masa yang akan datang tidak terjadi ledakan kasus pada ibu dan anak, maka pemerintah harus menggerakkan masyarakat secara inklusif menghadapi epidemi HIV dan AIDS.
- Pemerintah juga harus memproduksi sendiri obat ARV (Anti Retroviral) sebagai respon terhadap kebutuhan dan melepaskan diri dari ketergantungan ARV impor. Saat ini dari 17 jenis ARV, baru 7 jenis yang produksi dalam negeri. Selama ini anak yang terinfeksi HIV harus menggunakan ARV dewasa, sehingga tingga putus obatnya tinggi.
- PKBI berupaya menjadikan masyarakat sebagai garda terdepan dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Salah satu contohnya dengan membentuk Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat (PIKM). Melalui PIKM, seluruh elemen masyarakat bersatu padu dengan para stakeholder pengampu kebijakan bergerak untuk mencegah dan menanggulangi HIV dengan berbagai kegiatan.
- Hari AIDS Sedunia bukan hanya momen seremonial belaka. Namun menjadi penegas komitmen kita bersama untuk bergotong-royong mencegah dan menanggulangi HIV serta menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Pendekatan HIV haruslah lebih inklusif untuk menghilangkan stigma diskriminasi terhadap HIV dan AIDS, ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS) dan Tes HIV. PKBI percaya bahwa pendekatan penanggulangan HIV yang inklusif akan meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap HIV sehingga mampu melindungi dirinya dari HIV dan AIDS. Kedua, akan timbul empati dari masyarakat untuk menerima dan melindungi ODHA sebagai bagian dari warga Negara. Ketiga, masyarakat akan melakukan advokasi kebijakan terkait anggaran kesehatan untuk penyediaan ARV dalam negeri dan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif lainnya terhadap HIV dan ODHA.
Sumber : pkbi.or.id